Mendongkrak
Indeks Persepsi Korupsi
Ket: Makalah diajukan
untuk melengkapi Tugas Akhir Bahasa Indonesia
Nama : Belacio Maekaratri Syam
NPM : 51412407
Kelas : 21A02
Universitas
Gunadarma
Fakultas
Teknologi Industri
Teknik
Informatika
Jakarta
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga saya
berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul ”Mendongkrak
Indeks Persepsi Korupsi".
Makalah ini berisikan tentang
informasi mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak hanya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja tetapi juga seharusnya ada institusi peradilan
yang bebas dan mandiri. Tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah salah satu syarat untuk melengkapi Tugas Akhir Bahasa
Indonesia.
Saya menyadari bahwa Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak.
Akhir kata, saya sampaikan terima
kasih kepada orangtua, guru, dan teman-teman yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Depok,
08 Januari 2014
Belacio
Maekaratri Syam
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ 2
DAFTAR
ISI............................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 4
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C . Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 5
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 7
A. Simpulan
B. Saran-saran
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................ 8
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakangan Masalah
Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
dalam dua tahun terakhir (2012-2013) stagnan pada angka 32 dari skala 10 sampai
100. Artinya, perbaikan peringkat Indonesia dari urutan 118 ke 114 dari 176
negara yang disurvei bukan disebabkan membaiknya kinerja prestasi pencegahan
dan pemberantasan korupsi. Itu lebih karena korupsi empat negara memburuk.
Dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (KPK) 32, hampir pasti target pemerintah
meraih skor IPK 50 pada 2014 tak mungkin tercapai. Dalam dokumen Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), pemerintah sudah
mengadopsi IPK sebagai tolak ukur pencapaian pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan tentang topik
"Korupsi", rumusan masalah yang dapat diajukan sebagai berikut;
1) Apakah dengan
mengandalkan KPK, korupsi bisa teratasi begitu saja?
2) Bagaimana upaya
mencegah dan memberantas korupsi?
3) Mengapa sulit
untuk membangun institusi peradilan yang bebas dan mandiri?
C. Tujuan
Penulisan
Berkenaan dengan rumusan masalah di
atas, tujuan penulisan tentang masalah "Korupsi" adalah;
1) Ingin masyarakat
mengerti bahwa tidak bisa mengandalkan upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi hanya kepada KPK.
2) Ingin mengetahui upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
3) Ingin mengetahui
sulitnya membangun institusi peradilan yang bebas dan mandiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Pesan utama
Pesan utama yang kita tangkap,
pertama, kita tak bisa mengandalkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain karena besar dan kompleksnya
problem korupsi, kewenangan, jumlah penyidik, dan anggaran KPK amat terbatas.
Dalam dua tahun terakhir gegap gempita pencegahan dan pemberantasan korupsi
yang dimotori KPK tak mampu mendongkrak skor IPK.
Kedua,
pendekatan dan solusi yang dikembangkan simplistik dan partikularistik, padahal
problem korupsi kompleks dan sistemik. Apa yang harus kita lakukan untuk
mendongkrak skor IPK? Kecenderungan dan risiko koruptif bukan hanya problem
perilaku individual, melainkan terkait dengan kerangka organisasi dan sistem.
Kalau korupsi terjadi, dapat dipastikan ada problem dalam kualitas dan
integritas personal, kerangka organisasi, dan sistem. Jadi, upaya mencegah dan
memberantas korupsi harus menyangkut perbaikan kualitas personal, kerangka
organisasi, dan sistem.
Pertama,
pada tingkat personal, upaya mentransformasikan manusia Indonesia menjadi lebih
jujur, tidak serakah, lebih bertanggung jawab, berdisiplin tinggi, berempati
tinggi pada peningkatan kesejahteraan bersama, dan patuh pada aturan sangat
penting. Pelembagaan nilai itu melalui berbagai macam pendidikan dan pelatihan
harus terus dikembangkan. Jangan menyerah dan berhenti berupaya menghasilkan
manusia Indonesia yang jujur dan baik meskipun korupsi enemik dimana-mana.
Kedua,
memperbaiki kerangka organisasi, baik organisasi pemerintahan, partai politik,
peradilan, organisasi kemasyarakatan, militer, maupun korporasi. Ada tiga isu
penting terkait dengan memperbaiki kerangka organisasi: (1) memastikan
mekanisme checks and balances bekerja
dengan baik; (2) mekanisme sistem koreksi diri berfungsi baik; dan (3) baik dan
ajeknya tata kelola internal organisasi. Kalau terjadi korupsi dalam satu
organisasi, seperti di Kementerian Pertanian, SKK Migas, atau Kepolisian, dapat
dipastikan ada yang tak beres dengan salah satu , dua, atau ketiganya.
Ketiga,
pada tingkat sistem kita harus memiliki lima pranata sosial antikorupsi yang
ajek; pergantian pemerintahan secara tertib dan teratur, institusi peradilan
yang bebas dan mandiri, partai politik oposisi yang kuat, institusi media yang
bebas dan independen, serta gerakan sosial antikorupsi yang kuat.
Tantangan
terbesar kita justru disini: membangun institusi peradilan yang bebas dan mandiri.
Kecuali KPK, kita belum punya institusi peradilan yang bebas dan mandiri. Para
penegak hukum justru terlibat dalam perilaku koruptif. Sudah banyak jaksa,
polisi, hakim, plus advokat yang tersangkut kasus korupsi. Alih-alih bebas dan mandiri, institusi peradilan
terjebak dalam judicial corruption.
Bagaimana bisa memberantas korupsi kalau aparat dan institusi penegak hukum justru
terlibat korupsi.
Kapolri dan jaksa agung
Menjadikan
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dari pusat hingga daerah bebas dan
mandiri merupakan agenda utama. Presiden hasil Pemilu 2014 harus memilih
kapolri dan jaksa agung yang kepemimpinan, profesionalisme, dan komitmennya
pada pemberantasan korupsi meyakinkan publik. Tak mungkin kita menggantungkan
pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya kepada KPK.
Kita
belum punya partai oposisi yang kuat. Kecenderungan perilaku partai di pusat
maupun di daerah: membangun koalisi ketimbang oposisi. Penting menjadi bagian
dari orbit kekuasaan untuk memperkuat akses dan penguasaan sumber daya. Partai
oposisi yang kuat sangat penting memastikan terjadinya relasi kekuasaan yang
lebih seimbang. Juga memastikan mekanisme checks
and balances bekerja baik.
Partai
oposisi yang kuat akan mampu memproduksi kontra-argumen dan antitesis terhadap
kebijakan dan tata kelola yang dikembangkan pemerintah yang berkuasa. Kontrol
politik yang kuat dari partai oposisi akan mampu mengendalikan perilaku
pemerintah yang berkuasa melaksanakan amanah dan pengelolaan sumber daya.
Korupsi potensial bisa dikendalikan.
Dikuasainya
sejumlah media cetak, elektronik, dan virtual oleh pengusaha sekaligus penguasa
partai tak perlu mencemaskan. Pertama, ada persaingan yang ketat di antara para
baron media tersebut sehingga "fakta" atau informasi itu selalu ada
subversinya. Kedua, masih ada media yang mengabdi dan mempromosikan kebenaran
dan keadilan. Ketiga, masyarakat sudah pandai bukan hanya memilah dan memilih
informasi, melainkan juga menafsir ulang, bahkan mereproduksi setiap informasi
yang disajikan media.
Kita
belum punya gerakan sosial antikorupsi yang kuat. Dari segi nilai, masyarakat
kita bukannya kreatif dan aktif memberikan sanksi sosial, melainkan justru
proaktif memberikan kekebalan sosial kepada para koruptor. Itu sebabnya, fatwa
tentang boikot terhadap mayat koruptor untuk tak dishalatkan, misalnya, tak
mendapat sambutan positif masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syukur
kita sudah memiliki mekanisme pergantian pemerintahan secara tertib dan
teratur. Yang masih perlu diperlukan: memperbaiki perekrutan politisi dan
pemilihan pejabat publik/negara sehingga terpilih politisi dan pejabat unggul
ulung berbiaya rendah. Praktik perekrutan yang dilakukan partai sekarang
berbiaya tinggi, maka tekanan melakukan korupsi cenderung tinggi. Itulah yang
memunculkan gejala korupsi politi.
Terpilihnya
Jokowi dan Ahok, Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI, yang fenomenal
merupakan contoh baik pemilihan pejabat publik/negara. Perlu dan direplikasi.
Kalau
semua elemen bangsa serius dan terencana mentransformasikan bangsa ini jadi
bangsa yang bebas dari korupsi, mencapai skor IPK 60 sampai 70 dalam satu-dua
dekade nanti tidaklah mustahil. Menyamai Denmark, Selandia Baru, Finlandia,
Swedia, Norwegia, dan Singapura sebagai negara terbersih dari korupsi adalah
mungkin.
B. Saran-saran
Kita sebagai penerus bangsa harus
sudah belajar tentang kejujuran dan keadilan sejak dini untuk bisa mempimpin
bangsa ini dengan baik dan bijak. Sikap koruptif memang harus dijauhkan karena
sifatnya sangat merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri. Adapun para
penegak hukum atau siapapun yang melakukan tindak korupsi harus dijatuhkan
hukuman yang setimpal tanpa pandang bulu. Hukum di Indonesia sendiri juga harus
ditegakkan agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang melanggar peraturan
hukumnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·
Koran Kompas, 03 Januari 2014
·
Google
Lampiran:
- Naskah asli
artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar